GRESIK - Menyusul serangan maut di Paris dan peringatan keamanan di Belgia, Italia dan Jerman, badan-badan intelijen dan para politisi Eropa mengalihkan perhatian mereka kepada ratusan masjid tak resmi atau tak berizin yang beroperasi di apartemen-apartemen dan rumah-rumah di daerah yang didominasi migran.

Para politisi di beberapa negara Uni Eropa menuntut pengawasan lebih besar dan bahkan penutupan masjid-masjid semacam itu. Hal ini memicu tuduhan rasialisme dari beberapa pemimpin Muslim yang memperingatkan bahwa penutupan masjid-masjid darurat itu akan mengarah pada razia provokatif dan kudeta propaganda para jihadis. 

Menteri Dalam Negeri Italia telah mengumumkan rencana untuk menutup masjid-masjid tak berizin, sebagai bagian dari perlawanan Roma terhadap terorisme dan untuk menghambat perekrutan para jihadis oleh pejuang asing.

"Kita akan menutup tempat-tempat rahasia dan tak beregulasi. Bukannya untuk menghambat agama, tapi agar agama dipraktikkan di tempat-tempat yang seharusnya," ujar Angelino Alfano baru-baru ini.
Dalam pidatonya, ia memperingatkan akan potensi bahaya tempat-tempat ibadah yang tidak terdaftar, yang didatangi banyak warga Muslim Itali yang jumlahnya mencapai sekitar 1,5 juta orang itu. 
"Di Italia, kami memiliki empat masjid dan lebih dari 800 tempat ibadah umat Islam," ujarnya. 

Para pejabat intelijen Italia telah lama mengeluhkan kurangnya sumber daya untuk memantau semua tempat ibadah tak resmi umat Islam di negara itu. Ancaman penutupan tersebut telah memicu protes keras dari beberapa pemimpin Islam yang mengatakan bahwa warga Muslim Italia terpaksa beribadah di tempat-tempat darurat di rumah, toko dan apartemen, karena bangunan masjid diblok oleh otoritas lokal yang tidak simpatik dan anti-imigran. 
Jumlah masjid di seluruh Eropa terbatas. Jerman hanya punya 140 untuk lebih dari empat juta Muslim dan Inggris memiliki sekitar 200 masjid untuk tiga juta Muslim.

Muslim di Yunani telah berkampanye untuk membangun sebuah masjid di Athena selama berpuluh tahun, tapi kota itu masih menjadi ibukota Uni Eropa satu-satunya yang tidak memiliki masjid resmi. 
Pemerintah Yunani telah beberapa kali mengeluarkan izin untuk membangun masjid resmi di Athena, dengan populasi Muslim sekitar 200.000. Tapi gugatan ke pengadilan dan upaya naik banding dari kelompok-kelompok sayap kanan dan gereja Yunani Ortodoks telah menghalangi pembangunan tersebut.  

'UU Anti-Masjid' Lombardi 
Bulan Januari lalu, pemerintah Lombardy yang didominasi sayap kanan menyetujui peraturan daerah yang akan membuat pembangunan masjid baru sesuatu yang mustahil.

Disebut "undang-undang anti-masjid", langkah Lombardy membatasi pembangunan rumah ibadah baru untuk agama apa pun yang tidak diakui negara Italia. Satu-satunya kelompok agama besar yang termasuk dalam kategori ini adalah Islam, yang merupakan agama paling banyak dianut kedua di Italia. 
Para pemimpin Muslim dan politisi sayap kiri menuduh pemerintah daerah bersikap rasialis dan melanggar hak kemerdekaan beribadah yang dijamin secara luas di Eropa. Namun Roberto Anelli, politisi sayap kanan dari Partai Liga Utara, mengatakan, "Kehadiran Muslim di Lombardy bukannya tidak tergantikan. Menurut saya, jika tidak suka aturan ini, pulang saja."

Menyusul serangan-serangan di Paris bulan lalu, Marine Le Pen, pemimpin partai ultra-kanan Perancis, Fron Nasional, menyerukan pelarangan organisasi-organisasi Islamis militan dan penutupan masjid-masjid radikal. Ia juga mendesak sistem perizinan atas semua masjid tak berizin dan tak resmi. Para pendukungnya mengatakan karena sudah ada lebih dari 2.000 masjid di Perancis, masjid darurat tidak diperlukan lagi. 

Beberapa masjid informal diketahui dipimpin oleh para imam yang berhaluan dogma ekstremis atau retoris. Tapi dengan fasilitas-fasilitas tak berizin, tidak ada yang tahu selain jemaat siapa yang hadir dan apa yang dikhotbahkan. Jadi masih belum jelas sebarapa jauh sumbangan tempat-tempat ibadah darurat ini dalam memupuk narasi yang mendorong radikalisasi dan legitimasi ideologi garis keras. 

Para penentang fokus terhadap masjid-masjid informal mengatakan perekrutan jihadis terjadi di dunia maya, atau yang beberapa analis sebut "Imam Google". Mereka mengatakan penutupan masjid dan deportasi imam radikal (Perancis dalam setahun terakhir telah mengusir 10 imam) tidak akan mencegah serangan-serangan seperti di Paris, yang menewaskan 130 orang dan melukai lebih dari 350 lainnya. 
Tapi para penentang dan pendukung fokus pada masjid ini tidak memiliki garis politik atau agama yang jelas. 
Masjid-masjid Bawah Tanah

Kepala Dewan Muslim Perancis telah menyerukan sebuah sistem regulasi yang mengatur para imam dalam perang melawan ideologi jihadis. Mereka seharusnya diizinkan berkhotbah selama ada izin. Anouar Kbibech, yang mengibaratkan izin itu seperti izin mengemudi, mengatakan para imam harus "menghormati undang-undang Republik" dan mempromosikan "Islam yang toleran dan terbuka."

Namun sekretaris jenderal Serikat Masjid Perancis, Mohammed Mraizika, telah memperingatkan bahwa langkah-langkah untuk melarang masjid bawah tanah dan seruan agar imam hanya berkhotbah dalam bahasa Perancis, yang telah didukung oleh kelompok sayap kanan dan kiri Perancis, seperti "menuang minyak ke api."
"Meminta imam untuk membaca khotbah dalam Bahasa Perancis itu kontra-produktif. Itu tidak akan menyelesaikan masalah," ujarnya. "Yang penting kandungan khotbahnya harus jelas, kuat dan mengecam ekstremisme dan terorisme," katanya kepada situs berita The Local..(Sumber VOA/Arz/team4k2)
                                                                                                                  

Post a Comment