INFOJATIM - menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.
Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.
Mengingat kalau dulunya anak benua India dan Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran kalau ada budayanya yang hampir sama, atau mudah saling menerima pengaruh. Juga perkembagan agama di wilayah ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama.
Versi mistis :
Pulau dengan penduduknya paling banyak di seluruh Indonedia ini, tidak menyangka, kalau dahulunya adalah pulau terkecil dan terpecah-belah oleh persilangan laut antara utara dan selatan.
Kisah dipersatukannya seluruh pulau yang terdapat di berbagai pulau Jawa, akibat dari kesaktian yang dimiliki oleh Brahmana Agung bernama Shang Hyang Dewa. Konon dengan kesaktian beliau, pulau itu ditarik satu persatu menjadi pulau terbesar dan dinamakan Bumi Ing Jowo Dwipo.
Semasa pulau ini belum terjamaah oleh manusia, para siluman dari bangsa seleman dan togog telah lebih dulu menduduki hingga ribuan tahun lamanya. Masa itu pulau Jawa disebut dengan nama Mokso Seleman (zaman para lelembut).Namun setelah keturunan dari Shang Hyang Nurasa menduduki bumi Jawa (Shang Hyang Dewa) pulau itu disebut dengan nama bumi pengurip (bumi yang dihidupkan). Shang Hyang Dewa akhirnya moksa di puncak Gunung Tidar, setelah beliau menyatukan berbagai bangsa lelembut untuk menuju jalan Adil (kebenaran), dan dari keturunannya.
Terlahir pula para Shanghyang Agung, seperti Shanghyang Citra Suma, Shanghyang Dinata Dewa, Shanghyang Panca Dria, yang akhirnya dari merekalah sebuah titisan atau wasilah turun-temurun menjadi kerajaan teragung yang absolut.
Baru diabad ke 12, pulau Jawa diperluas dengan tiga aliran yang berbeda, yaitu dengan adanya ajaran Hindu, mokso Jawi dan Islam. Akhir dari ketiga aliran tersebut nantinya menjadi suatu perlambang dari perwatakan penduduk pulau Jawa hingga sekarang ini.
Dalam perluasan arti ketiga diatas, mencerminkan sebuah kehidupan bermasyarakat gemah ripah loh jinawi. Konon ajaran ini hanya ada dipulau Jawa dan seterusnya menyebar ke seluruh pelosok yang ada di Indonesia, seperti ajaran Hindu misalnya, ilmu yang diajarkan oleh para Shanghyang Dewa, ilmu, sebagai aji rasa manunggaling agung.
Lewat bait sansekerta Yunani yang mengupas di dalamnya, kebenaran, keadilan, kejujuran dan memahami sifat alam. Ilmu ini akhirnya diturunkan oleh bapaknya para dewa. Raden Nurasa kepada Nabiyullah Khidir a.s. dan dizaman Wali Songo nanti, ilmu ini dipegang dan menjadi lambang dari sifat kependudukan masyarakat Jawa oleh tiga tokoh Waliyullah, yaitu Sunan Kalijaga, Mbah Cakra Buana dan Khanjeng Syekh Siti Jenar.
Moksa jawi sendiri, sebuah ilmu yang mengupas tentang kedigdayaan ilmu yang bersumber dari raja lelembut, bernama raja lautan. Ini sangat berperan dan menjadi salah satu perwatakan masyarakat Jawa. Konon ajaran yang tergabung di dalamnya mengajarkan arti tirakat, mencegah hawa nafsu dan memahami makna rohani, simbol dari ajaran ilmu ini digambarkan sebagai bentuk keris.
Keris menjadi suatu perlambang dari ajaran orang Jawa, bermula dari seorang Empu, bernama Ki Supo Mandragini. Beliau salah satu santri dari Khanjeng Sunan Ampel Denta yang diberi tugas untuk membuat sebilah keris. Namun rupanya, pemahaman dari sang guru dan murid ini saling berseberangan, disisi lain Sunan Ampel menginginkan sebuah pusaka berupa sebilah pedang sebagai perlambang dari makna Islam. Namun ketidaktahuan Ki Supo Mandragini sendiri, akhirnya beliau membuat sebilah keris berluk 9.
Keris tersebut menjadi penengah antara ajaran Islam dan Hindu bagi orang Jawa, dengan sebutan Islam Kejawen, dan keris pembuatan Ki Supo diberi nama Kyai Sengkelat. Dari kedua aliaran diatas, Islam telah ada di pulau Jawa sejak abad ke 9. Ajaran ini dibawa dari kota Misri oleh seorang Waliyullah Kamil Syekh Sanusi dan muridnya Muhammaad Al Bakhry, dan baru masyhur tentang ajaran Islam di pulau Jawa pada abad 13 dan 14 atau zamannya para Wali Songo.
Pembedaran lain dari keunikan yang terdapat di pulau Jawa pada masa itu, 300 tahun sebelum Wali Songo mendudukinya, para Shanghyang maupun bangsa lelembut seleman telah mengetahui lewat sasmita gaib yang mereka terima, bahwa sebentar lagi pulau Jawa akan dibanjiri para pemimpin makhluk dari berbagai negara.
Mereka dari seluruh alam berkumpul, berdiskusi di puncak Gunung Ciremai, pada masa itu mereka mufakat untuk mengabdi dan membantu, apabila para Waliyullah telah menduduki pulau Jawa. Namun tentunya tidak semua dari mereka setuju, sehingga perpecahan dari dua kubu yang berseberang jalan itu dinamakan Getas Kinatas (terpecahnya satu keluarga atau satu keturunan).
Nanti pada akhirnya tiba, dari Shanghyang Rowis Renggo Jenggala, akan menurunkan beberapa keturunan Saktineng Paku Jawa (orang-orang sakti yang menjdi penguasa pulau Jawa) diantaranya:
- "Arya Bengah" yang menurunkan para putera Majapahit dan keturunannya sampai putera Mataram.
- "Ciung Wanara" yang menurunkan Lutung Kasarung hingga sampai ke silsilah Prabu Agung Galuh atau yang dikenal dengan nama Prabu Munding Wangi atau Prabu Siliwangi.
- "Nyi Mas Ratu Ayu Maharaja Sakti" menurunkan beberapa keturunan berbagai alam diantaranya "Ratu Palaga Inggris, seorang puteri cantik dari bangsa manusia, yang akhirnya dikawin oleh Prabu Siliwangi.
- "Kerta Jasa" maharaja sakti.
- "Sang Kowelan" salah satu anak dari Ratu Palaga Inggris yang berjenis bangsa lelembut, dari beliau pula ucuk umun dan Ratu Kidul dihasilkan.
- Dari "Syekh Sanusi" melahirkan ratusan Waliyullah kondang, diantaranya para Wali Irak, Yaman, Mesir, Turky, dan para Wali Jawa.
Untuk yang berseberangan atau getas kinatas, sebagian dari mereka memilih ngahyang (raib) dan tak pernah muncul lagi dipermukaan bumi dan sebagian lagi mereka mengabdi dengan lewat menjaga semua alam di pulau Jawa.
Diantara yang mengabdi adalah :
- Sih Pohaci, beliau menjaga awan dan langit.
- Sih Parjampi, beliau selalu menjaga bumi dan bertempat pada lapisan bumi nomor dua.
- Sang Sontog, menjaga semua gunung pulau jawa.
- Sang Waluhun, menjaga pantai utara dan selatan.
- Sih Walakat, menjaga seluruh hutan dan pepohonan.
- Sangkala Brahma, menjaga bumi Cirebon.
- Sangkala Wisesa, menjaga bumi Mataram.
- Janggala Putih, menjaga bumi Bogor.
- Sang Lenggang Lumenggang Gajah, menjaga bumi Jakarta.
- Sang Seda Hening, menjaga bumi Banten.
Dan pengguron atau perguruan para purwa, Wali Jawa, diantaranya;
Perguruan, penatas angin Pekalongan.
Perguruan, Agung Waliyullah Ki Bagus Santo Pekalongan.
Perguruan, Pandarang Semarang.
Perguruan, Jambu Karang Purwokerto.
Perguruan, Daon Lumbung Cilacap, dan lain-lain.
Begitulah sepenggal kisah Purwa Jawa.
Versi lain lagi...Sejarah Terbentuknya Pulau Jawa
Isuk diisi, sore mati
"isuk diisi, sore mati" adalah simbol untuk pulau Jawa dahulu kala. Jauh sebelum ajaran Hindu masuk ke pulau Jawa, pulau Jawa banyak berisi makhluk-makhluk gaib dan yang paling berkuasa adalah makhluk gaib yang mungkin anda sudah tahu, yaitu Semar, Togog, Bagong, Petruk, sama Gareng.
Karena kesaktian dan keserakahan kelima makhluk gaib inilah pulau Jawa dapat sebutan isuk diisi sore mati, yang maksudnya pulau Jawa tidak bisa dihuni oleh manusia, jikalaupun dihuni akan terjadi pertumpahan darah diantaranya, baik karena perang ataupun bencana alam.
Kelima makhluk ini berhuni mulai dari ujung barat sampai ujung timur pulau Jawa, seperti contoh satu tempat, tempatnya Semar, yaitu di pulau Ismoyo, pantai Balekambang, Malang.
sugeng rawuh huruf honocoroko
Aji Saka
Pasti anda sudah tahu siapa Aji Saka dan bagaimana ceritanya, bagi yang dari luar Jawa, Aji Saka adalah penemu huruf Jawa (honocoroko) seperti kata-kata sugeng rawuh diatas.
kelengkapan huruf honocoroko
Nah ini sejarah yang saya yakin tidak semua orang tahu, yaitu ketika Aji Saka menumbali tanah Jawa agar bisa dihuni manusia. Singkat cerita Aji Saka datang ke pulau Jawa dan sudah menciptakan huruf Jawa. Dalam pengembaraannya dia sadar bahwa tanah Jawa tidak stabil, sering sekali darah manusia bercucuran dan akhirnya beliau tahu kalau penyebabnya adalah kelima makhluk gaib diatas. Akhirnya tanah Jawa ditumbali (diberi rajah dan doa) untuk bisa dihuni. Untuk tempatnya saya tidak mengetahuinya.
Syekh Subakir
Sebuah rajah juga memiliki tanggal kadaluarsa. Dalam perkembangannya, seiring dengan waktu dan semakin ramai pulau Jawa, rajah Aji Saka tidak bisa bertahan lama dan menjadi kadaluarsa. Kembalilah keadaan dimana Jin berkuasa, hujan darah dimana-mana, bencana merajalela.
Lalu pada suatu ketika datanglah waliyulloh pertama di Jawa, yaitu Syekh Subakir. Mengetahui kondisi pulau Jawa yang sulit dihuni manusia, beliau menumbali tanah Jawa dengan rajah Kolocokro di Gunung Tidar (sekarang rajah ini juga banyak digunakan).
Dan menjadi damai kembalilah pulau Jawa kita tercinta ini. Namun seperti rajah Aji Saka, jelasnya rajah Syekh Subakir juga memiliki tanggal kadaluarsa, pertanyaannya kapankah itu terjadi? semoga Allah senantiasa melindungi kita semua.
Versi yang lain lagi....Sepenggal Singkapan Sejarah Geologi Pulau Jawa
Setiap sudut penjuru bumi menyimpan berbagai kisah menarik terkait riwayat kebumian berikut proses pembentukannya. Setiap tempat dengan ragam fenomena alam yang dimiliknya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, tidak terbentuk dengan tiba-tiba dalam sekejap mata, muncul sebagaimana adanya terlihat di saat ini. Boleh jadi, disana juga tersimpan beragam kisah dan peristiwa menakjubkan' yang tak pernah disadari sebelumnya.
Proses kejadian yang berkaitan dengan rupa bumi di masa kini, dapat berlangsung puluhan ribu, ratusan ribu, hingga puluhan juta, bahkan ratusan juta tahun lamanya, sementara kisah keberadaan manusia yang menghuninya baru terbaca sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Kisah-kisah kebumian dari masa silam yang dapat tersingkap kembali, tentu dapat dipergunakan sebagai bahan pelajaran yang berharga untuk memahami berbagai fenomena alam dan tatacara beradaptasi dalam kehidupan manusia di masa kini.
Kisah kebumian yang menarik dan 'menakjubkan', sebagian diantara bahkan berkelas dunia, juga tercatat rapi dalam singkapan sejarah geologi Nusantara, salah satunya di Pulau Jawa. Yang istimewa, bukti-bukti warisan kebumian banyak terkumpul di seputar Daerah Istimewa Yogyakarta. Disini, sejumlah situs geologi dan warisan rupa bumi dari berbagai periode waktu yang mencapai puluhan juta tahun lampau, terkumpul dalam bentang area yang tak terlampau berjauhan. Kelengkapannya bahkan bisa dianggap mewakili sejarah geologi Pulau Jawa secara keseluruhan.
Masa-masa awal terbentuknya Pulau Jawa diperkirakan terjadi lebih dari 60 juta tahun yang lalu (Zaman Pre-Tersier), ketika pulau ini masih menjadi bagian dari sebuah benua besar yang dikenal sebagai superbenua Pangea.
Susunan batuan dasar yang membentuk Pulau Jawa memiliki asal-usul dan umur yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jawa bagian barat diperkirakan telah terbentuk pada akhir Zaman Kapur (145 hingga 65 juta tahun lalu) dan menjadi bagian dari Paparan Sunda (Sundaland Core), sementara Jawa bagian timur diyakini berasal pecahan kecil benua Australia (sejumlah peneliti menyebutnya sebagai East Java Microcontinent). Bagian timur ini diperkirakan mulai 'menabrak' dan bergabung dengan bagian barat sekitar 100-70 juta tahun yang lalu hingga menciptakan bentuk awal Pulau Jawa yang ada saat ini.
Artinya, Pulau Jawa terbentuk dari gabungan dua lempeng benua dan bagian barat Pulau Jawa diyakini memiliki umur yang lebih tua dibanding bagian timurnya. Batas di antara kedua bagian ini tertandai dengan adanya sesar purba yang membentang dibawah Sungai Luk Ulo di Kebumen, Jawa Tengah, menyeberangi Laut Jawa dan berakhir di Pegunungan Meratus yang membelah Kalimantan Selatan.
Saat ini, hanya ada tiga tempat yang memiliki rekam jejak sejarah kebumian dari masa awal terbentuknya Pulau Jawa, yaitu Teluk Ciletuh (Sukabumi, Jawa Barat), Karangsambung (Kebumen, Jawa Tengah) dan Bayat (Klaten, Jawa Tengah). Rekaman ini tersimpan dalam bentuk singkapan yang menampakkan batuan dasar tertua yang berumur hingga sekitar 96 juta tahun. Singkapan ini terjadi sebagai akibat dari proses tumbukan antar lempeng disertai dengan erosi yang berlangsung terus-menerus dalam rentang waktu yang sangat panjang, jutaan tahun lamanya.
Dari masa ke masa, proses geologis berlangsung tanpa henti, menyusun beragam wujud muka bumi yang berbeda-beda. Proses pengendapan pertama diperkirakan terjadi antara 54 hingga 36 juta tahun lalu (Kala Eosen). Berbagai material terendapkan di cekungan-cekungan yang terbentuk akibat peregangan lempeng. Tersingkapnya batuan konglomerat, batugamping, batupasir serta batubara, menunjukkan ciri pengendapan sungai, danau dan laut dangkal yang terjadi saat itu.
Pada masa berikutnya, ketika Pulau Jawa sudah mulai terbentuk dengan poros membujur arah barat dan timur, muncul tekanan dahsyat dari arah selatan. Perlahan namun pasti, lempeng samudera Indo-Australia yang bergerak ke arah utara 'menabrak' lempeng benua Eurasia dari sisi selatan pada zona yang berposisi sejajar dengan Pulau Jawa.
Lempeng samudera yang memiliki densitas atau massa jenis yang lebih tinggi mengalami subduksi atau penunjaman. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi penyebab terbentuknya palung laut, pegunungan, serta aktifitas vulkanik yang memunculkan bentukan gunung berapi. Sebagian material lempeng samudera Indo-Australia mengalami pelelehan, mencair menjadi magma dan menciptakan jalur vulkanik dalam posisi sejajar dengan poros panjang Pulau Jawa.
Inilah kelanjutan peristiwa yang menjadi bagian penting dari rangkaian sejarah terbentuknya Pulau Jawa, ditandai dengan mulai terbentuk gugusan gunung api purba sebagai jalur vulkanik yang berjajar di bagian selatan dan menjadi tulang punggung Pulau Jawa jutaan tahun yang lalu.
Menarik untuk dicatat, dalam kurun waktu antara 36 hingga 10,2 juta tahun lalu ini (Kala Oligosen Akhir hingga Kala Miosen Awal), pada gugusan gunung api purba di Pulau Jawa ini, diperkirakan telah terjadi rangkaian peristiwa vulkanisme yang teramat dahsyat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penemuan singkapan lapisan batuan piroklastik serta ditemukannya batupasir vulkanik yang sangat tebal sebagai hasil erupsi gunung berapi purba. Berdasarkan bukti-bukti geologis yang ditemukan di sekitarnya, setidaknya telah dikenali dua gunung api purba yang di kalangan ahli geologi dinamai berdasarkan lokasi penemuan bukti-bukti geologisnya, bukan berdasarkan letak titik pusat aktifitas vulkaniknya. Kedua gunung api itu adalah Gunung Api Purba Semilir dan Gunung Api Purba Nglanggeran.
Konon, berdasarkan bukti endapan yang dihasilkannya, ditengarai pernah terjadi erupsi katastropik Gunung Api Purba Semilir yang kekuatannya nyaris setara dengan Supervolcano Toba di Sumatera (74.000 tahun yang lalu) dan Supervolcano Yellowstone di Wyoming, Amerika Serikat (2,1 juta tahun yang lalu). Kekuatan erupsi Gunung Api Purba Semilir saat itu diperkirakan tak kurang dari 10 kali lebih besar dari erupsi Gunung Tambora (1815), 100 kali lebih besar dari erupsi Gunung Krakatau (1883) dan 1000 kali lebih besar erupsi Gunung St. Helena di Washington, Amerika Serikat (1980).
Inilah masa-masa dimana gunung api purba mengalami kejayaannya di Pulau Jawa. Namun pada kisaran 16 hingga 2 juta tahun yang lalu (Kala Miosen Tengah hingga Pliosen Akhir) kegiatan magmatisme di gugusan gunung api purba ini mulai jauh berkurang.
Saat itu, situasi di sebagian besar Pulau Jawa masih berada dalam genangan laut dengan kehidupan biotanya yang berkembang dengan baik. Daerah pegunungan selatan merupakan daerah laut dangkal dengan airnya yang cenderung tenang, jernih, memiliki sumber makanan yang memadai, serta mendapatkan sinar matahari yang cukup. Kondisi ini memungkinkan terbentuknya koloni koral atau kompleks terumbu yang sangat luas serta berkembang biaknya biota laut, seperti plankton, moluska, algae dan masih banyak lagi. Fakta ini terekam dengan baik dan dapat diamati pada ragam singkapan batugamping yang sangat tebal dan meluas di sepanjang sisi selatan dan sisi utara Pulau Jawa saat ini.
Pada kisaran 12 juta tahun yang lalu (Kala Miosen Tengah), mulailah terjadi pelandaian kemiringan penunjaman lempeng samudera Indo-Australia, sehingga proses pelelehan yang menghasilkan magma ikut bergeser ke arah utara. Proses ini terus berlanjut sampai sekitar 1,8 juta hingga 11.500 tahun yang lalu (Kala Pleistosen) dan masih tetap berlanjut hingga saat ini (Kala Holosen), meninggalkan gugusan gunung api purba yang telah terbentuk sebelumnya di sisi selatan Pulau Jawa.
Pergeseran jalur vulkanik yang mencapai jarak sekitar 50 hingga 100 kilometer ke arah utara ini, secara otomatis telah menonaktifkan semua gunung berapi purba, karena suplai magma hasil pelelehan di bawah permukaan bumi telah bergeser ke utara. Aktifitasnya gunung api purba seperti Nglanggeran, Semilir dan kemungkinan pusat-pusat erupsi lainnya, berangsur-angsur mulai turun, bahkan bisa dikatakan nyaris tak bersisa lagi. Kondisi Pulau Jawa pun menjadi relatif stabil, meskipun kegiatan magmatisme tetap 'terpelihara' oleh alam, bergeser ke sebelah utara.
Pengendapan delta, sungai dan laut dangkal diatas Pulau Jawa menjadi proses alamiah yang telah berlangsung dalam kurun waktu antara 25,2 hingga 5,2 juta tahun silam. Penurunan muka air laut terjadi secara berangsur-angsur, mengiringi pengendapan-pengendapan material di daratan dan tepi laut. Pada saat yang sama, lempeng samudera Indo-Australia pun terus bergerak menekan lempeng benua Eurasia.
Sebagai akibatnya, perlahan namun pasti, pegunungan selatan Pulau Jawa mulai mengalami pengangkatan, sehingga daerah-daerah yang dahulunya berupa lingkungan laut dangkal, sedikit demi sedikit mulai berubah menjadi daratan, bahkan sebagian diantaranya berubah menjadi perbukitan. Proses pembentukan berikut pusat aktifitas gunung api pun terus bertumbuh, beriringan dengan pengangkatan, pemiringan, erosi serta pertumbuhan terumbu secara ekstensif yang mungkin bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Rangkaian peristiwa alam ini terus berlanjut dalam rentang jutaan tahun lamanya, hingga mencapai bentukan sempurna Pulau Jawa sebagaimana penampakannya di saat ini, dengan gugusan gunung berapi 'muda' di bagian tengahnya.
Bukti-bukti sejarah geologi Pulau Jawa ini terkumpul dalam bentang area yang tak terlampau berjauhan di seputar Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari Karangsambung dan Sungai luk Ulo, Kebumen di sebelah barat hingga Kawasan Karst Pegunungan Seribu di sebelah timur. Dari seputar Bayat di Klaten sebagai salah satu yang tertua, hingga Gunung Merapi yang mewakili usia 'muda'.
Semuanya menjadi sumber ilmu pengetahuan yang tak akan pernah habis digali dan diolah menjadi bahan pelajaran berharga, untuk memahami berbagai fenomena alam dan tatacara beradaptasi yang harus dilakukan oleh manusia yang menghuninya. Terlebih dalam memahami dan menyikapi beragam fenomena kebencanaan yang dalam pemahaman sebagian kalangan awam, seolah baru muncul secara tiba-tiba dalam beberapa dekade terakhir di zaman ini.


Versi yang lain lagi ....Mitos Pulau Jawa
Alkisah, ketika itu di tanah Hindustan ada seorang raja brahmana, berjuluk Prabu Isaka atau yang disebut dengan Prabu Ajisaka. Sang Prabu Ajisaka ini adalah putera dari Prabu Iwasaka atau Betara Anggajali.
Prabu Ajisaka diajari berbagai laku oleh ayahnya sehingga ia mendapatkan banyak kesaktian sebagaimana para dewa. Setelah itu ia diperintahkan untuk bertapa di sebuah pulau yang panjang [dawa] yang keadaannya sepi, dan sebelumnya oleh Sanghyang Guru diberi nama Pulau Jawa. Pramu Isaka kemudian bergegas mencarinya. Setelah cukup lama, ia menemukan pulau yang masih sunyi, kira-kira di sebelah tenggara tanah Hidustan. Ketika pertama kali Prabu Isaka menginjak di pesisir utara Pulau Jawa, menurut hari Hindu menjelang hari Buddha, menjelang masa Kartika, dalam tahun Sambrama. Jaman pancamakala mencapai 768 tahun. Prabu Isaka lalu mengelilingi seluruh daratan pulau ini, mulai dari ujung barat laut hingga ujung tenggara.
Prabu Isaka sangat kagum ketika mengetahui panjang pulau ini, karena mulai dari Aceh sampai Bali masih utuh menjadi satu.
Dikisahkan, perjalanan Prabu Isaka mengelilingi Pulau Jawa mendapat kemudahan dari Hyang Sukma. Ia hanya membutuhkan waktu 103 hari. Prabu Isaka lalu bertempat di Gunung Hyang, yakni Gunung Kendeng di daerah Prabalingga dan Besuki. Permulaan pembabatan ketika hari soma tanggal 14, pada masa sitra, masih dalam tahun sambrama. Pada waktu itu, Prabu Isaka bernama Empu Sangkala, serta berkehendak menghitung angka tahun lamanya bertapa. Karena pembabatan hutan Gunung Hyang dijadikan sebagai angka permulaan tahun, maka dinamakan tahun Sangkala. Yakni pada masa kartika dalam tahun sambrama dalam hitungan tahun matahari atau rembulan. Adapun bunyi sengkalanya sama dengan tahun kepala satu Jebug Sawuk, menandai tahun 1, yakni permulaan adanya tahun Jawa yang dipakai sebagai pedoman permulaan adanya tahun Jawa yang dipakai sebagai pedoman di kemudian hari, serta awal mula Pulau Jawa ditempati manusia. Begitulah serpihan kisah asal pulau Jawa.
Versi lain lagi.......
Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.
Konon,
proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.
Mengingat
kalau dulunya anak benua India dan Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran kalau ada budayanya yang hampir sama, atau mudah saling menerima pengaruh. Juga perkembagan agama di wilayah ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama.
Al kisah,
dalam kunjungan resminya sebagai utusan raja, Empu Barang atau nama bangsawannya Haryo Lembusuro, seorang pandhito terkemuka tanah Jawa, berkunjung ke Jambu Dwipa (India).
Sesampainya menginjakkan kaki di negeri Hindustan ini, oleh para Brahmana setempat, Empu Barang diminta untuk bersama-sama menyembah patung perwujudan Haricandana (Wisnu). Namun, dengan kehalusan sikap manusia Jawa, Empu Barang menyatakan bahwa sebagai pandhito Jawa, dia tidak bisa menyembah patung, tetapi para Brahmana India tetap mendesaknya, dengan alasan kalau Brahmana dinasti Haricandana menyembahnya karena Wisnu dipercaya sebagai Sang Pencipta Tribuwana.
Dengan setengah memaksa, Empu Barang diminta duduk, namun sewaktu kaki Empu Barang menyentuh tanah, tiba-tiba bumi bergoyang (tidak disebutkan berapa kekuatan goyangannya dalam skal ritcher). Yang jelas, saking hebatnya goyangan tersebut, patung tersebut hingga retak-retak.
Memang,
menurut tata cara Jawa, penyembahan kepada Sang Penguasa Hidup itu bukan patung, tetapi lewat rasa sejati, sehingga hubungan kawula dengan Gusti menjadi serasi. Itulah Jumbuhing Kawula Dumateng Gusti.
Orang Jawa melakukan puja-puji penyembahan kepada Gustinya langsng dari batinya, maka itu dalam perkembangannya disebut aliran Kebatinan atau perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah Kejawen, karena bersumber dari Jawa.
Bagi orang Jawa tentang cerita waktu bumi Jawa belum dihuni manusia, telah dihuni oleh golongan dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Dan salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu turun ke arcapada kimpoi dengan Pratiwi, dewi bumi.
Dalam pemahaman kejawen, hal itu disikapi dengan terjemahan, kalau Wisnu itu artinya urip/hidup, pemelihara kehidupan. Jadi jelasnya awal mula adanya kehidupan manusia di bumi, atas izin Sang Penguasa Jagad. Dewa perlambang sukma, manusia perlambang raga. Begitulah hidup manusia, raganya bisa rusak, namun sukmanya tetap hidup langgeng.
Kemolekan bumi Jawa laksana perawan rupawan yang amat jelita, sehingga Kerajaan Rum (Ngerum) yang dipimpin Prabu Galbah, lewat laporan pendeta Ngali Samsujen, begitu terpesona karenanya. Maka diutuslah dutanya yang pertama yang bernama Hadipati Alip.
Hadipati Alip
berangkat bersama 10.000 warga Ngerum menuju Nuswa Jawa. Mereka dalam waktu singkat meninggal terkena wabah penyakit. Tak tersisa seorang pun. Lalu dikirimlah ekspedisi kedua dibawah pemimpinan Hadipati Ehe. Malangnya, mereka juga mengalami nasib sama, tupes tapis tanpa tilas.
Masih diutus rombongan berikutnya, seperti Hadipati Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Semuanya mengalami nasib sama, tumpes kelor.
Melihat semua itu, Prabu Galbah terkejut dan mengalami shock hebat. Akibatnya, sakit jantungnya kambuh. Dia kemudian jatuh sakit, dan dalam waktu tak lama mangkat.
Pendeta Ngali Samsujen, merasa bersalah karena nasehatnya menimbulkan malapateka ini terjadi. Akhirnya beliau mati dalam rasa bersalah. Tinggal Mahapati Ngerum, karena rasa setianya, dia ingin melanjutkan missi luhur yang dicita-citakan rajanya. Dia akhirnya ingat pada sahabatnya yang sakti bersanama Jaka Sangkala alias .....................

Aji Saka, yang tinggal di Tanah Maldewa atau Sweta Dwipa.
Habisnya para migran dari Ngerum ke Tanah Jawa itu, menurut Jaka Sangkala adalah karena hati mereka yang kurang bersih. Mereka tidak meminta izin dahulu pada penjaga Nuswa Jawa. Padahal, karena sejak zaman dahulu, tanah ini sudah ada yang menghuni. Yang menghuni tanah Jawa adalah manusia yang bersifat suci, berwujud badan halus atau ajiman (aji artinya ratu, man atau wan artinya sakti).
Selain penghuni yang baik, juga dihuni penghuni brekasakan, anak buah Bathara Kala. Makanya tak ada yang berani tinggal di bumi Jawa, sebelum mendapat izin Wisnu atau manikmaya atau Semar.
Akhirnya, Mahapati Ngerum diantar Aji Saka menemui Wisnu dan isterinya Dewi Sri Kembang. Saat bertemu, dituturkan bahwa wadyabala warga Ngerum yang mati tidak bisa hidup lagi, dan sudah menjadi Peri Prahyangan, anak buah Batara Kala. Tapi ke-8 Hadipati yang gugur dalam tugas itu berhasil diselamatkan oleh Wisnu dan diserahi tugas menjaga 8 mata angina. Namun mereka tetap menghuni alam halus.
Atas izin Wisnu, Mahapati Negrum dan Aji Saka berangkat ke tanah Jawa untuk menghadap Semar di Gunung Tidar. Tidar dari kata Tida; hati di dada, maksudnya hidup. Supaya selamat, oleh Wisnu, Mahapati Ngerum dan Aji Saka diberi sifat kandel berupa rajah Kalacakra, agar terhindar dari wabah penyakit dan serangan anak buah Batara Kala.
Dan ternyata masih banyak versi lainya. (sejarah-tanah-jawa/team4k2 )

Post a Comment