SURABAYA - Wakil Gubernur Jawa Timur Drs. Saifullah Yusuf menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) mendukung penuh bahwa tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Hal tersebut disampaikannya pada saat menjadi Moderator pada Bedah Buku Revolusi Pancasila.

Hadir menjadi pembicara Bedah Buku Revolusi Pancasila tersebut Sekjen PDIP Hasto Kristanto, Khatib A'am PBNU Yahya Staquf, Guru Besar Unair Drs. Priyatmoko, MA dan Yudi Latif PH.D Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia) di Kantor PWNU Jatim, Senin (9/11/2015).

Ia mengatakan, semua pihak mendukung agar Presiden RI menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Alasannya, selama ini proses dari sejarah Pancasila dirasa sangat panjang. Semakin hari keberadaan Pancasila telah masuk di kehidupan masyarakat.

Pancasila ini merupakan warisan istimewa yang harus difahami oleh generasi akan datang. "Pancasila yang bisa membuat kita masih bertahan sebagai bangsa yang besar," ujarnya.

Bung Karno pernah mengatakan, bahwa Indonesia tidak mengikuti konsep liberal maupun komunis. Mengacu pada sejarah akademik, tak dapat dipungkiri bahwa istilah dan substansi Pancasila pertama kali dikenalkan dan dikumandangkan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945.

"Tak ada yang membantah bahwa penggagas Pancasila adalah Bung Karno. NU turut mengusulkan dan mendukung 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Pancasila oleh Presiden Republik Indonesia," terangnya.

Dalam abstraksinya pada Buku Revolusi Pancasila, Gus Ipul sapaan akrabnya menjelaskan bahwa, Pancasila menjadi dasar berdirinya republik yang dicintai sejak tujuh puluh tahun silam. Indonesia sejatinya adalah pokok-pokok pikiran filosofis Bung Karno itu adalah jati diri bangsa Indonesia.

"Ia bukan semata warisan. Warisan tanpa kedewasaaan para ahli waris, sangat mungkin menimbulkan bencana. Jika para pewaris tak sempat berwasiat, maka warisan potensial memunculkan kisruh dan prahara di kemudian hari bagi Tanah Air," ungkapnya.

Menurutnya, saat Pancasila yang dianggap kurang "menarik" oleh sebagian orang, Yudi Latif justru menggeluti masalah kebangsaan dan Pancasila. "Kita menaruh hormat kepada Yudi Latif yang telah menulis buku ini di tengah-tengah ironi," imbuhnnya.


Jika berbicara Pancasila, orang akan mencibir karena terdapat disparitas antara kelima sila Pancasila dan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila tetap berada di pinggir dalam proses-proses perubahan politik, ekonomo dan sosial budaya yang cepat dalam satu dasa warsa terakhir.

Gus Ipul menilai, bahwa penulis mengajak para patriot bangsa untuk menyalakan kembali api revolusi yang sejalan dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri.

Revolusi Pancasila bukan revolusi borjuis, bukan pula revolusi proletar, melainkan revolusi kemanusiaan yang kongruen dengan tuntutan budi nurani kemanusiaan yang bersifat universal dan melampaui batas-batas kelas hingga golongan.

Pengarang Buku Revolusi Pancasila Yudi Latif mengatakan, Revolusi Pancasila harus dimulai dari perubahan besar untuk menuju masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. "Cita cita Pancasila sebenarnya adalah, mewujudkan peri kehidupan kebangsaan yang adil dan makmur," ungkapnya.

Sementara itu, Hasto Kristanto Sekjen PDIP menegaskan bahwa tujuan bernegara, Pancasila berperan penting sebagai teori teori sosial yang harus dinamis dan progresif. Diibaratkan, bahwa keberadaan Pancasila harus mampu memberikan substansi positif bagi kehidupan bermasyarakat.

Sedangkan, pembicara lain seperti Priyatmoko dan Yahya Staquf sepakat bahwa Pancasila harus menjadi faham yang terus digelorakan di Indonesia. Pancasila harus masuk pada sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Karena, Pancasila merupakan Jati diri dari Bangsa Indonesia. 

Sumber : Humas Jatim

Post a Comment